Acara Televisi dan Bioskopku Mengenaskan
Film Indonesia sedang hangat-hangatnya disambut penonton, wartawan, kritikus. Berita konferensi pers peluncuran film baru hampir tiap hari terdengar. Para penonton berbondong-bondong ke bioskop untuk nonton film Indonesia. Bioskop-bioskop didominasi oleh film Indonesia. Film Indonesia punya masa depan cerah. Bukan cuma untuk jadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi mungkin juga akan jadi tuan tanah, juragan kos. Nothing but possibilties.
Tapi itu dua tahun yang lalu.
Sekarang film Indonesia kembali dipandang sinis oleh penonton, kritikus. Film-film lokal baru bukan cuma jarang muncul (tahun 2008 bisa dua atau tiga film baru seminggu), tapi kalaupun muncul tak terdengar beritanya. Kalau pun terdengar, tak lain hanyalah publicity stunt murahan yang diduga kuat dibikin oleh produsernya untuk menarik perhatian penonton: perkelahian antara pemain di set syuting, pelecehan seksual yang dilakukan terhadap aktris oleh aktor (yang diduga kuat gay). Perfilman Indonesia seakan berubah menjadi sirkus di mana keramaian terjadi di luar tenda. Begitu penonton masuk ke arena untuk menonton pertunjukan yang sesungguhnya, yang ada bukan cuma pertunjukan yang membosankan, tapi sebuah terapi penurunan I.Q. dan program peningkatan tekanan darah. Membodohkan dan menjengkelkan.
Akhir tahun 1980an, saat televisi-televisi swasta mulai bermunculan dan menayangkan banyak film-film luar yang bagus dan bisa ditonton orang dengan gratis, para pembuat film Indonesia tidak mampu bersaing. Banyak yang berargumentasi bahwa praktek monopoli grup Cineplex 21 pada saat itu adalah penyebab kematian film Indonesia. Tapi sebagai penonton film, yang saya rasakan adalah pembuat film Indonesia tidak mampu memenuhi tuntutan penonton untuk film yang lebih well-made. Para produser kemudian mencoba bertahan dengan membuat film dengan judul-judul yang merangsang. Ranjang Ternoda, Gairah Malam, Setetes Noda Manis (nggak tau noda apa. Mungkin kencing tikus), dan sebagainya. Di tahun-tahun pertama, para penonton berbondong-bondong masuk ke bioskop (termasuk saya). Tapi setelah yang disuguhkan hanyalah para aktris yang main siram-siraman di kolam renang atau pantai memakai bikini, lalu berciuman dengan lawan main seolah-olah ciuman baru diciptakan dua bulan sebelumnya sehingga mereka tidak tahu caranya bagaimana, para penonton pun ogah menonton lagi.
"Entah karena apa pemilik bioskop selalu mau menerima film Indonesia untuk ditayangkan di bioskopnya. Mungkin karena kedekatan personal. "
Akhir tahun 1990an dan awal 2000, para pembuat film yang juga film buff yang dibekali teknis yang memadai untuk membuat film dan tahu apa yang diinginkan penonton, mulai membuat film. Film Indonesia mulai menggeliat kembali.
Sampai akhirnya semakin lama semakin banyak 'petualang film' yang ikut-ikutan membuat film, tergiur dengan gosip betapa menguntungkannya bisnis film. Mereka adalah orang-orang yang bukan hanya tidak tahu teknik dasar membuat film, tapi juga miskin papa hina dina dalam citarasa.
Awalnya, mereka berpikir bahwa film horor adalah genre film yang paling pasti ditonton orang. Genre horor yang seharusnya merupakan genre yang paling jujur, paling menghibur tanpa pretensi, diperkosa beramai-ramai hingga compang-camping. Difitnah sehingga harga dirinya tak ada harganya lagi. Sampai-sampai orang-orang berpikir bahwa horor identik dengan busuk. Padahal kalau dibikin dengan benar, film horror adalah genre film yang paling mampu menghidupkan bisnis perfilman. Lihat saja Thailand. Film-film horor luar biasa yang mereka bikin telah diimpor banyak negara dan menjadikan bahasa Thailand menjadi bahasa dunia. Bahkan pembantu saya pun sekarang bisa mengucapkan "sawatdee ka".
Kemudian para petualang bisnis film ini masuk ke genre komedi yang biasanya dibaluti dengan seks. Orang-orang ini sepertinya sama sekali tidak punya sense of humor dan tidak kenal seks sama sekali karena film yang mereka buat tidak lucu dan tidak bikin konak.
Situasi berulang kembali seperti awal 1990an. Para penonton awalnya ingin tahu nonton film Indonesia karena judul dan gosip-gosip pembuatannya. Tapi setelah mereka menonton filmnya, yang mereka lihat adalah terapi penurunan I.Q. dan program peningkatan tekanan darah. Bodoh dan menjengkelkan. Saat ini, sulit sekali untuk meyakinkan banyak orang untuk menonton film Indonesia.
Di mana salahnya? Bukankah di luar negeri pasti juga banyak orang-orang tanpa otak dan citarasa yang ingin masuk ke dunia film? Jawabannya adalah karena di Indonesia tidak dikenal sistem distribusi film lokal.
Di luar negeri, setelah produser selesai membuat sebuah film, mereka akan berusaha untuk menjual film itu ke distributor film yang kemudian akan berusaha membuat deal dengan pemilik bioskop supaya film itu ditayangkan. Para distributor ini bisa dilihat sebagai saringan film yang akan ditayangakn di bioskop. Mereka hanya akan membeli film yang mereka anggap layak untuk diputar di bioskop. Karena mereka biasanya tidak ikut campur dalam pembuatannya, mereka tidak punya attachment atas sebuah film sehingga lebih objektif.
Di Indonesia, setelah seorang produser selesai membuat sebuah film, mereka sendiri yang akan mendatangi para pemilik bioskop dan melakukan deal dengan pemilik bioskop supaya filmnya diputar. Dan setahu saya, 99% film Indonesia yang dibuat pasti akan diputar di bioskop. Entah karena apa pemilik bioskop selalu mau menerima film Indonesia untuk ditayangkan di bioskopnya. Mungkin karena kedekatan personal.
Yang pasti, bioskop sekarang dipenuhi oleh sampah yang diproduksi oleh orang-orang yang berpikir hanya karena mereka bisa menyewa kamera digital dan ada aktor-aktor palsu yang bisa jalan dan buka mulut, mereka tinggal point and shoot and voila! Mereka sudah jadi pembuat film.
Yang kasian adalah orang-orang yang memang punya bakat untuk berkarya yang kehilangan kepercayaan masyarakat. Dan penonton tentunya. Seharusnya di sebalah meja penjualan tiket juga da meja untuk minta uang kembali. Kalau mereka ingin ikut program penurunan I.Q. dan peningkatan tekanan darah, mereka bisa nonton sinetron.
Diposting Oleh Joko Anwar..
0 Comment :