Sepenggal Kisah Mahasiswa dan Skripsi
Gambarnya orang bule biar gantengan dikit, soalnya kalo gambar saya nanti kalian keburu close artikel ini duluan.. |
Tiba-tiba tertarik menulis ini ketika saya yang baru menyelesaikan skripsi ternyata kegaduhan skripsi tidak berhenti sampai disini. Jadi, setelah saya menyelesaikan skripsi saya, ternyata saya menjadi tempat konsultasi dadakan bagi adik kelas dan teman seangkatan yang belum mengambil matakuliah Tugas Akhir alias Skripsi. Kenapa saya bilang kegaduhan? Ya karena yang saya alami demikian. Baik teman seangkatan maupun adik kelas jika sudah berbicara 'Skripsi', wah rasanya seperti momok paling menakutkan yang dijumpai oleh mahasiswa.
Perasaan bingung, takut, atau merasa kehilangan arah adalah wajar ketika kita sebagai mahasiswa baik D3 maupin S1 yang baru pertamakali bertemu dengan 'level akhir' tahap perkuliahan. Namun sebenarnya setelah dipikir-pikir dan dilewati, skripsi itu tidaklah semenakutkan itu. Saya jabarkan beberapa kisah mahasiswa dan skripsi melalui beberapa poin berikut.
1. Mahasiswa Bingung akan Judul Tugas Akhirnya
Inilah kisah pertama yang saya temukan. Bingung mau nulis apa. Kalau anak teknik atau jurusan kreatif lainnya: Bingung mau bikin apa. Sebenarnya sudah bagus ketika teman-teman disini sudah terpikir beberapa konsep skripsi yang mau dibuat, hanya saja bingung mau bikin yang mana. Artinya memang konsep sudah ada, hanya saja bagaimana memilah yang terbaik untuk disajikan menjadi skripsi. Yang berbahaya adalah ketika teman-teman belum punya konsep sama sekali. Ketika disini anda belum punya konsep sama sekali, ya patut dipertanyakan sebenarnya selama ini anda ke kelas kuliah ngapain aja? Dari ratusan SKS yang dijalani, masa iya tidak ada ide sama sekali?
Lalu parahnya, jaman sekarang adalah jaman yang tinggal browsing internet, kita bisa dapat ribuan bahkan jutaan informasi disitu. Kurang mudah apa. Bahkan saya selama mencari ide untuk skripsi, saya tidak pernah ke perpustakaan karena ilmu-ilmu yang paling up to date ya adanya di internet.
Tinggal kita mencocokan dengan kemampuan kita ada dimana.
Ada peminatan atau konsentrasi yang kita pilih. Ketika kemampuan kita di desain grafis dan menyukainya, pilihlah topik tersebut. Ketika ada trend masyarakat menjadi viral dan kita bisa bahas sesuai bidang kita, kita tertarik dan menyukainya, pilihlah trend tersebut. Intinya ada di Tertarik dan Menyukainya. Selama tidak mustahil, inilah yang menurut saya menjadi pondasi bagi kita untuk membangun skripsi kita. Tidak peduli bagaimana nanti dosen pembimbing kita mengomentari dan mengkoreksi, minimal memang kita mengerjakannya dengan senang terlebih dulu.
2. Mahasiswa bertindak SKS(S) (Sistem Kebut Satu Semester)
Jujur saya mengalami hal ini. Bagaimana karya yang saya buat, karena situasi dan kondisi ya benar-benar dibuat saat semester akhir. Bahkan hanya beberapa bulan sebelum sidang! Dan ini salah menurut saya. Ada baiknya kita 'nyicil' yaitu mulai memikirkan konsep dan mempelajarinya saat yaaa 1-2 semester sebelum mengambil skripsi lah. Itu semua untuk mendapatkan hasil yang tebaik dan bukan asal jadi.
Saya sih hanya agak prihatin ketika ada yang tiba-tiba bisa animasi, tiba-tiba bisa bikin game, tiba-tiba bisa android, tiba-tiba bisa software ini itu dengan seadanya karena kepepet Tugas Akhir. Bukannya salah, cuma hal itu mengganggu pikiran saya. Dan selalu yang terfikir adalah kenapa seakan-akan semua seperti formalitas belaka. Ya, formalitas untuk mendapat nilai dan lulus. Yang penting lulus. Yang penting gelar. Memang tujuan kuliah adalah lulus. Tapi bagaimana dengan kualitas diri setelah lulus, sudahkah kita siap? Ini bukan lagi masalah siap kerja. Saya yakin kalau semua sarjana siap-siap saja untuk kerja, yang membedakan nanti cuma level dan jenis pekerjaannya.
Nyatanya dibalik sebuah gelar tersirat tanggung jawab besar bagi yang menyandangnya. Karena dengan gelar akan terkesan lebih terhormat, lebih percaya diri, lebih diharap untuk jadi panutan. Lalu apa jadinya jika gelar ternyata tidak sepadan dengan kemampuan atau dengan kualitas seseorang? Masalahnya disitu. Bagi yang telah mendapat gelar, haruslah membuktikan kualitas seorang sarjana. Sanggup atau tidaknya kita membuktikan akan menjadi sebuah efek domino bagi orang sekitar.
Contoh: Ketika ada seorang sarjana dianggap tidak dianggap kompeten oleh orang-orang sekitarnya, maka yang terjadi adalah : 1. perusahaan tidak lagi memperdulikan ijazah dan gelar. 2. Mahasiswa menjadi malas (ketika diajar oleh dosen dengan pendidikan tinggi yang kurang kompeten) 3. Malu kalau kalah sama anak SMA/SMK. 4. Akan jadi bahan pembicaraan bagi orang lain (seperti: "Dia kok gitu? padahal Sarjana Universitas X loh", dan sejenisnya).
3. Menyalahkan Orang Lain
Banyak mahasiswa akhir yang suka sekali menyalahkan orang lain. Ambilah contoh ketika dosen tidak ada saat kita butuhkan. Atau tulisan kita ditolak pembimbing dan tidak lulus secara standar skripsi, yang dilakukan adalah menyalahkan dosen-dosen. Padahal skripsi adalah saat-saat dimana kita harus merasa menjadi orang paling bodoh sedunia, yang tidak anti kritik, mau belajar dari manapun. Termasuk saat tulisan kita dibilang sampah oleh dosen sekalipun. Dan penting ketika adu argumen dengan dosen adalah jangan mengandalkan ego, melainkan bicara melalui data dan fakta yang ada. Jangan mentang-mentang saya sudah menulis begadang, kesana-kemari mencari literatur, lelah, kita jadi terbawa perasaan. "Padahal kita sudah bikin susah-susah tapi dibilang sampah.." kira-kira begitu keluhannya.
Namun disinilah seni sebuah skripsi. Saya ingat kata pembimbing saya yang bilang, "ikuti saja si penguji maunya apa.." Walaupun dalam hati saya dongkol tapi saya ikuti dan ternyata hasilnya lancar-lancar saja. Menyalahkan orang lain ini tidak cuma menyalahkan dosen. Sering saya jumpai menyalahkan kampus lah, menyalahkan tukang print dan printer lah, menyalahkan tukang fotokopi lah, sampai menyalahkan Jokowi..
4. Mahasiswa Galau Skripsi
Tentu beberapa dari kita yang bergulat dengan skripsi pernah melihat teman kita curhat skripsinya di socmed, atau bahkan kita sendiri pernah. Ya seperti sekarang ini lah, saya nulis panjang lebar di blog tentang skripsi. Yang biasanya foto selfie, mendadak jadi foto komputer dan microsoft word nya plus caption "begadang demi meraih cita #perjuangan #semangat48 #demiToga #kejamnyaDunia #TurunkanJokowi". Yang biasanya share politik, mendadak cerita nepotisme dosennya. Yang biasa update meme dari Onecak, sekarang update meme tentang skripsi. Yang biasa update path nonton felem mulu di path, jadi gak update karena gak sempet nonton felem. Intinya semua itu terjadi sesaat hanya ketika skripsi saja.
5. Meluapkan Kebahagiaan yang Berlebihan
Memang menyenangkan, puas, dan penuh rasa syukur pasti dirasakan banyak mahasiswa ketika lulus dan menyandang gelar sarjana. Yang sedang trend adalah selfie dengan balon bertulisan gelarnya. Tentunya saya juga merasa bangga,lega dan bersyukur. Namun anehnya saya tidak overjoyed dengan yang telah saya dapatkan. Alias saya merasa "sialan, udah lulus gue mau kemana nih? tawaran-tawaran ada, tapi mana yang terbaik? Bagaimana harapan orang tua? Bagaimana harapan gue sendiri?"
Saat itu saya merasa takut akan pilihan dan takut akan menghadapi dunia luar, sampai sekarang. Dunia kampus yang kita sudah nyaman harus ditinggalkan. Juga orang-orang yang kita kenal. Kita nantinya harus bertemu orang baru lagi, harus beradaptasi lagi. Kemampuan harus berkembang, MEA di depan mata. Dan kembali lagi, dengan adanya gelar ini maka tanggung jawab semakin besar.
Iseng mengikuti job fair di salah satu Universitas ternama, saya melihat ribuan orang dengan gelar yang mungkin sama, pengalaman kerja yang mungkin lebih banyak, dari berbagai daerah dan latar belakang kampus yang berbeda, sama-sama memiliki tujuan yaitu mendapatkan pekerjaan idaman di perusahaan idaman.
Selama 3 hari job fair, sampai hari terakhirpun para pelamar masih ramai. Belum lagi yang cita-citanya PNS, persaingannya ribuan orang bukan? Setelah melihat kondisi tersebut, saya berpikir, skripsi, ijazah dan IPK ternyata belum ada apa-apanya. Saya yang sempat part-time di suatu perusahaan tidak pernah tuh ditanya client kuliah dimana, IPK berapa, judul skripsinya apa. Yang ditanya adalah persoalan teknis yang saya tidak paham dan tidak ada di bangku kuliah. Sekali lagi dalam hati saya, "sialan...."
--//--
Kira-kira begitu sepenggal kisah mahasiswa dan skripsi yang ditulis oleh mahasiswa yang baru sekali mengalami skripsi. Saya hanya merefleksikan keadaan sekitar yang saya lihat di kampus saya. Keadaan mungkin berbeda di kampus dan jurusan teman-teman. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
keren tulisannya
BalasHapusThankss :)
Hapus